Bandeng Presto Pak Abu

Bandeng Presto Pak Abu


Febri Diansyah: Eksaminasi Publik, Metode Penting Mengawal Kasus Korupsi

Febri Diansyah: Eksaminasi Publik, Metode Penting Mengawal Kasus Korupsi


ANTIKORUPSI.ORG – Jum’at, 5 Oktober 2012
Penanganan kasus tindak pidana korupsi, terutama di tingkat pengadilan pertama, seringkali tak memuaskan hati. Ada banyak kasus ketika hakim menjatuhkan vonis rendah, tak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan terdakwa. Terlebih, ada sejumlah koruptor yang divonis bebas.
Masyarakat, sesungguhnya, memiliki kesempatan untuk mengawal penanganan kasus korupsi oleh aparat penegak hukum. Salah satunya, melalui eksaminasi publik atas putusan pengadilan.
Sepanjang tahun 2011, ICW telah melakukan eksaminasi terhadap 20 putusan hakim terhadap terdakwa korupsi. Beberapa diantaranya kini telah diganjar hukuman lebih tinggi di tingkat kasasi di Mahkamah Agung, seperti Bupati Lampung Timur Satono yang divonis 15 tahun penjara, setelah sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Tanjung Karang.
“Ini salah satu metode penting yang bisa dikembangkan oleh jaringan,” terang peneliti Divisi Hukum ICW, Febri Diansyah, Kamis (10/4/2012).
Berikut petikan wawancara redaksi www.antikorupsi.org dengan Febri Diansyah:
Sejumlah putusan MA sesuai dengan hasil eksaminasi ICW. Apakah bisa dikatakan metode ini berhasil?
Ya, artinya memang hasil eksaminasi ICW yang mengatakan yang bersangkutan bersalah itu sama dengan pendapat Mahkamah Agung. Ini salah satu metode penting yang bisa dikembangkan oleh jaringan, dengan syarat ada akses keterbukaan di pengadilan. Karena modal utama untuk melakukan eksaminasi adalah dokumen putusan sidang, dan bila ada, rekaman sidang.
Sebagai bentuk pengawasan publik, siapa yang berhak melakukan eksaminasi?
Publik bisa siapapun. Akan tetapi Majelis Eksaminiasi harus terdiri atas orang-orang yang memenuhi kualifikasi, yang memahami hukum. Harus ada orang yang berlatar belakang hukum, tapi tidak harus semuanya. Ketika melakukan eksaminasi terhadap perkara yang berkaitan dengan keuangan negara, maka harus ada ahli keuangan negara. Jika kasus korupsi menyangkut barang dan jasa, perlu ada auditor. Terkait persoalan tambang, misalnya, juga harus ada orang yang berkompeten di bidang pertambangan. Intinya, harus ada kompetensi terhadap bidangnya.

Bagaimana metodenya?

Yang pasti, metode yang digunakan harus jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Hal pertama yang menjadi syarat adalah ada dokumen yang dianalisis, yakni berkas putusan pengadilan. Ini merupakan dokumen publik, dan menurut UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, masyarakat boleh mengakses berkas putusan pengadilan.
Kedua, orang yang melakukan eksaminasi harus berkualifikasi di bidangnya.
Bagaimana tahapannya?
Ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Pertama, proses analisis putusan oleh masing-masing anggota Majelis Eksaminasi.
Kedua, seluruh anggota tim harus membuat anotasi, yakni catatan terhadap putusan yang dieksaminasi. Hasil analisis itu dibawa ke dalam diskusi terbatas, FGD, untuk diadu semua pendapat itu. Tidak hanya oleh anggota majelis eksaminasi tapi juga oleh orang yang ahli di bidang itu. Diskusi antara majelis eksaminasi untuk perumusan kesimpulan dan temuan-temuan.
Setelah dirumuskan, dibawa kemana?
Diserahkan ke Kejaksaan, karena jaksa penuntut umum yang akan melakukan banding di proses Kasasi ketika ada vonis bebas. Untuk vonis bersalah, hasil eksaminasi diserahkan ke penyidik. Dan yang paling penting, hasil eksaminasi itu diserahkan ke pengadilan atau ke Mahkamah Agung yang menangani perkara tersebut.
Tentu saja hakim tetap harus independen, tapi kita sebagian masyarakat berhak memberikan pendapat, melakukan pengawalan.
Sumber : http://antikorupsi.org/new/index.php?option=com_content&view=article&id=20534&lang=id
Ketua DPRD Jawa Tengah Dituntut 7,5 Tahun Penjara

Ketua DPRD Jawa Tengah Dituntut 7,5 Tahun Penjara



TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Jawa Tengah, Murdoko, 7 tahun 6 bulan penjara. Terdakwa korupsi dana kas daerah Kendal itu didenda Rp 250 juta subsider 5 bulan penjara.

"Menuntut majelis hakim, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dengan melakukan korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," ujar Jaksa Riono saat membacakan tuntutannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 22 Oktober.

Riono mengatakan, fakta persidangan membuktikan perbuatan Murdoko memenuhi unsur Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 Ayat 1 Kitab UU Hukum Pidana.

Unsur-unsur tersebut yakni melawan hukum, memperkaya diri sendiri, dilakukan bersama-sama, merugikan negara, serta perbuatan pidana berlanjut. "Terdakwa juga harus tetap ditahan," ujar Riono.

Murdoko, yang juga politikus dari PDI Perjuangan, didakwa bersama-sama dengan Bupati Kendal 2000-2005, Hendy Boedoro, dan Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Kendal 2002-2006, Warsa Susilo, memperkaya diri sendiri. Perbuatannya merugikan daerah Kendal sebesar Rp 4,75 miliar.

Murdoko dituding memperkaya diri sendiri menggunakan Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten Kendal tahun anggaran 2003 dan dana pinjaman daerah Kendal di Bank Pembangunan Daerah Jateng. Modusnya memindahkan kas DAU Kendal di BPD ke BNI Cabang Karangayu, Semarang secara bertahap untuk kepentingan pribadinya.

Andi Suharlis, jaksa penuntut lainnya, menjelaskan pemindahan dana kas daerah itu dilakukan bertahap, yakni Rp 5 miliar serta Rp 25 miliar. Belakangan Murdoko meminjam duit yang sudah dipindahkan itu secara bertahap pula, yakni Rp 3 miliar, Rp 900 juta, Rp 850 juta, dan Rp 1 miliar.

"Pemindahbukuan adalah upaya mempermudah penggunaan dana untuk kepentingan pribadi terdakwa," ujarnya.

Menurut jaksa Andi, alasan Murdoko tidak pernah meminta uang melalui Warsa Susilo, begitu pula mengaku tidak mengetahui transfer duit ke rekeningnya, tidak memiliki nilai pembuktian karena tidak didukung alat bukti.

"Keterangan terdakwa tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan fakta persidangan," ujarnya. Riono menambahkan, Murdoko tidak dibebani uang pengganti karena uang pengganti sudah dibayar oleh Hendy yang juga kakak kandungnya. Adapun Murdoko tampak tegang ketika mendengarkan tuntutan kepadanya.

Mengenakan baju batik berpadu biru cokelat, ia memegangi gagang kursi yang didudukinya dengan erat. "Saya akan mengajukan pleidoi sendiri dan penasihat hukum," ujarnya saat hakim memintanya bersikap terhadap tuntutan tersebut.


TRI SUHARMAN
Belasan Kasus Korupsi Mangkrak di Kejati Jateng

Belasan Kasus Korupsi Mangkrak di Kejati Jateng

TRIBUNNEWS.COM SEMARANG,- Belasan kasus korupsi di Jawa Tengah bertahun-tahun mangkrak di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah (Kejati Jateng) hingga saat ini. Nilainya masing-masing kasus itu tidak sedikit melainkan miliaran rupiah. Hal itulah yang mengemuka saat tiga lembaga anti korupsi yaitu Komite Penyelidikan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN), YAPHI Solo, dan Pusoko Klaten ketika beraudiensi dengan pihak Kejati Jateng, Senin (9/7/2012/) siang.
Ketua Divisi Monitoring Penegak Hukum KP2KKN Jateng Eko Haryanto memberikan 15 data kasus korupsi yang hingga sekarang tidak jelas perkembangan kasusnya. Ia membagi 15 kasus itu menjadi beberapa kategori antara lain korupsi kepala daerah, korupsi APBD, korupsi Buku Ajar, korupsi Bansos dan korupsi pengadaan alat. Dalam audiensi itu dengan keras ia mempertanyakan profesionalitas kejati jateng.
"Kasus dugaan korupsi proyek pembangunan perumahan bersubsidi Griya Lawu Asri (GLA) senilai Rp.15M yang diduga melibatkan Bupati Karanganyar Rina Iriani dan sudah tersangka juga sekarang sampai mana?" tanya Eko kepada pelaksana harian (plh) Asisten Pidana Khusus (aspidsus) Kejati Adhi Prabowo di lantailima kantor Kejati Jateng, Senin (9/7).
Bukan hanya Bupati Karanganyar yang menjadi pertanyaannya, Kasus dugaan korupsi penyimpangan Proyek Pembangunan Pasar Kliwon Temanggung Tahun 2002 – 2003 senilai Rp.2,5M yang diduga melibatkan Wakil Bupati Temanggung Budiarto juga tidak ada kabarnya. Belum lagi kasus bantuan sosial yang nilainya mencapai miliaran rupiah semisal Riza Kurniawan yang merupakan anggota DPRD Jateng dan terlibat dua kasus korupsi baru ditangani oleh Kejari Mungkid setelah sekian tahun.
Riza kurniawan terlibat dalam kasus dugaan korupsi Bansos Pendidikan dari Pemprov Jateng TA 2008 senilai Rp.2,1M. Selain itu, saat ini ia juga diduga terlibat kasus hibah KONI yang bernilai ratusan juta rupiah. Yang ia soroti lainnya adalah kasus studio mini pemprov jateng senilai RP 2 M yang lokasi studionya berseberangan dengan kantor Kejati Jateng seolah tidak ada penyelesaian.
"kejati ini kayak lihat semut di seberang kelihatan tapi gajah di pelupuk mata engga kelihatan. Saya dengar masih nunggu audit lagi, lah bukannya yang pertama sudah ada hasil audit?" tanyanya lagi.
Koordinator Biro Advokasi YAPHI Solo, Yusuf Suramto juga mempertanyakan kasus relokasi bengawan solo senilai Rp 900 juta serta korupsi buku ajar Wonogiri yang nilainya mencapai miliaran rupiah. Dalam kasus buku ajar Wonogiri pemaksa pengadaan yaitu anggota DPRD Wonogiri sama sekali tidak diselidiki lebih dalam serta bupatinya yang turut 'memaksa' pengadaan buku ajar.
Adapun ketua LSM Pusoko Klaten Nikodimus mempertanyakan kasus pengadaan tanah SMK Negeri Bayat dan SMK Negeri Tulung yang selesai pada 2008 namun pada 2010 muncul berita acara pengadaan tanah. Semua pejabat yang tidak tahu pun turut disuruh tanda tangan surat administrasi yang seharusnya sudah dibuat pada 2008. Sebuah proses administrasi yang menurutnya janggal karena tahun anggaran untuk pengadaan sudah lewat dua tahun.
Selain itu ia juga mencari kabar terkait kasus dukcapil yang pada 2008 telah memanggil 14 pejabat tetapi mendadak kabarnya menghilang. Ia juga mempertanyakan dana gempa yang ternyata kejati belum mengetahui perihal kasus tersebut. Dalam audiensi itu total ada 20 kasus yang dipertanyakan oleh para lembaga anti korupsi tersebut. Dalam waktu dekat, ketiga pihak itu akan melakukan audiensi untuk memastikan tindak lanjut dari audiensi kemarin.(bbb)
Sistem Pendidikan Polisi Buruk

Sistem Pendidikan Polisi Buruk






Rabu, 18 Januari 2012 pukul 16.30 WIB | Kategori NasionalPendidikan



Ilustrasi
Jakarta (SAPULIDI News) – Banyaknya kasus-kasus yang membuat ada benturan antara aparat kepolisian dengan warga, merupakan indikasi buruknya sistem rekruitmen. Hal tersebut dikatakan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane. Rabu (18/1).
Awal tahun 2012 ini saja, kata Dia, sudah ada empat warga yang ditembak polisi. Sedangkan IPW, mencatat pada tahun 2011, ada 98 orang yang ditembak polisi dan 18 orang di antaranya tewas."Aksi arogan dan represif polisi ini tidak terlepas dari buruknya sistem rekrut dan pendidikan dasar kepolisian di negeri ini,"katanya.
Neta menambahkan, kader polisi hanya dididik tiga bulan di Sekolah Polisi Negara (SPN). Padahal pendidikan dasar TNI saja enam bulan."Kursus salon kecantikan minimal enam bulan.  Artinya, sistem pendidikan Polri lebih buruk dari sistem pendidikan salon kecantikan,"ujar Neta seperti ditulis dalam rilisnya.
Selain tiu, kata Neta, sistem Pendidikan di SPN ini, tentu sangat memprihatinkan, karena hanya melahirkan kader polisi yang tidak siap menjadi polisi serta rendah intelektual. Efeknya, lanjut dia, polisi-polisi  tersebut cenderung berkompensasi dengan sikap arogan dan represif saat berhadapan dengan masyarakat.
IPW, lanjut dia, berharap Mabes Polri dan Lemdiklat Polri serius membenahi sistem pendidikan kepolisian. Dengan cara menerapkan pendidikan gratis di Polri tanpa suap dan  pungli. Lalu, pendidikan berkompetensi, serta sertifikasi untuk penyidik.(red)
Komisi III: Polisi yang Menjebak Warga dengan Narkoba Harus Dihukum

Komisi III: Polisi yang Menjebak Warga dengan Narkoba Harus Dihukum

Jakarta Komisi III DPR merespon dugaan kasus penjebakan narkoba oleh polisi. Petugas yang melakukan penyalahgunaan wewenang harus dilaporkan dan dihukum.


"Sebetulnya itu polisi menyalahgunakan wewenang. Itu etika. Perlu ada hukuman. Jadi memang itulah dilema jadi polisi begitu. Jenderal-jenderal itu cerita anak buahnya menyalahgunakan deskresi. Harusnya deskresi itu ada dugaan, tidak boleh tidak ada dugaan sama sekali," kata Wakil Ketua Komisi III DPR, Tjatur Sapto Edy, kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (19/6/2012).

Menurut Tjatur, polisi tak boleh asal merazia. Setiap razia harus dilakukan karena dugaan kuat atau karena operasi resmi yang digelar bersama-sama.

"Polisi tidak boleh tiba-tiba razia kecuali ada dugaan awal. Nanti kalau tidak ada namanya deskresi tidak pada tempatnya. Dia harus punya data dan informasi awal terkait hal itu. Tidak boleh asal tuduh apalagi menjebak," paparnya.

Hukuman dari teguran sampai pemecatan perlu diterapkan. Agar polisi jera mempermainkan orang tak bersalah. Terutama yang punya karakter menjebak orang.

"Bagaimana kepolisian itu memberikan attitude kepada anak buahnya di lapangan. Catat namanya, kasih tahu ke propam atau ke Irwas atau ke Komisi III, kemudian diproses hukum," tandasnya.

Polda Metro Jaya meminta masyarakat tak sungkan melapor bila ada yang merasa dijebak terkait kasus narkoba. Yang penting, catat nama petugasnya dan kesatuannya. Kemudian, laporkan saja ke Propam Polda Metro.

"Kalau ada seperti itu, lapor ke Propam," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto saat dikonfirmasi detikcom, Selasa (19/6/2012).

Kasus dugaan jebakan narkoba itu tengah ramai diperbincangkan di dunia maya. Adalah Sherlita Stephanie atau Lita yang melintas di kawasan Jalan Bangka sekitar pukul 01.30 WIB dini hari tadi. Dia mengaku sejumlah petugas menghentikan kendaraannya.

Entah bagaimana, dia tiba-tiba dituding memiliki obat-obatan yang disebut sebagai narkoba. Padahal dia bukan pemakai. Lita bersama temannya baru pulang dari Kemang menuju kawasan Tebet dan melintas di daerah Bangka. Hampir 1 jam dia mengalami intimidasi, hingga akhirnya adiknya datang. Adiknya dengan terpaksa menyebut nama kenalannya di kepolisian. Hingga kemudian polisi melepaskan Lita dan temannya.

(van/rmd)
 
PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN

PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN


Oleh :
Ikhwan Fahrojih
Peneliti Hukum pada Pusat Kajian Politik Hukum dan HAM (PK-PHAM)

Secara umum,fungsi hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak serta melaksanakan hukum pidana materiil. Ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang aparat penegak hukum dan pengadilan.1 Pada sisi lain, hukum juga memberikan kewenangan tertentu kepada negara melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan yang dapat mengurangi hak asasi warganya. Hukum acara pidana juga merupakan sumber kewenangan bagi aparat penegak hukum dan hakim serta pihak lain yang terlibat (penasehat hukum). Permasalah yang muncul adalah “penggunaan kewenangan yang tidak benar atau terlalu jauh oleh aparat penegak hukum”.2 Penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana yang berdampak pada terampasnya hak-hak asasi warga negara merupakan bentuk kegagalan negara dalam mewujudkan negara hukum.

Ciri-ciri negara hukum antara lain (1) Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; (2) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); (3) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; dan (4) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.3. Di Indonesia, jaminan perlindungan HAM dituangkan dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan termasuk dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pada hakekatnya, upaya mengimplementasikan HAM ke dalam Undang-undang tersebut adalah berusaha menempatkan keadilan dan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi sesuai dengan martabat bangsa yang merdeka, untuk itu harus dijamin pelaksanaannya.4
Dalam kaitan dengan itu, Bagir Manan mengatakan bahwa keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan bergantung pada penerapan dan penegakannya. Apabila penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, peraturan perundang-undangan bagaimanapun sempurnanya tidak atau kurang memberikan arti sesuai dengan tujuannya. Penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan perundang-undangan.5 Penegakan hukum dan pelaksanaan hukum di Indonesia masih jauh dari sempurna. Kelemahan utama bukan pada sistem hukum dan produk hukum, tetapi pada penegakan hukum. Harapan masyarakat untuk memperoleh jaminan dan kepastian hukum masih sangat terbatas. Penegakan dan pelaksanaan hukum belum berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.6

Sebagai karya agung bangsa Indonesia, KUHAP telah meletakkan hak-hak asasi manusia terutama hak-hak tersangka/terdakwa secara memadai. Akan tetapi dalam perjalanannya, apa yang terangkai secara indah dalam baris-baris kata dan kalimat dalam pasal-pasal KUHAP tersebut dalam implementasinya terbukti tidak mampu menghadirkan “penghormatan” terhadap harkat dan martabat manusia akibat penggunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum secara tidak bertanggungjawab dan terkontrol. Kewenangan yang hakekatnya dimaksudkan untuk mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara berubah fungsi menjadi alat penindas dan penyiksa warga negara yang disangka menjadi pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa), meski KUHAP telah memberi batasan dengan asas-asas yang harus dipegang teguh oleh aparat penegak hukum, antara lain : 1) the legality principle, 2) the presumption of innocence, 3) the rule for errest and accusation, 4) the rule on detection pending trial, 5) the minimum rights accorded to accused to prepare his defens, 6) the rule examination during preliminary investigation and during the trial, 7) the independence of court of justice and examination in a public trial, 8) the rules on appeal and review against a court decision.7

Penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana terutama banyak terjadi di tingkat penyidikan dan penuntutan karena pada tingkat ini tersangka/terdakwa rentan diperlakukan sebagai obyek , penyidikan misalnya seringkali dilakukan secara kekerasan (violence) dan penyiksaan (torture),8 bahkan dianggap sebagai pemeriksaan dengan metode yang telah “mumbudaya”, meskipun telah adanya perubahan sistem KUHAP, yaitu tidak dikehendakinya suatu pengakuan terdakwa sebagai alat bukti.9 Tentang hal ini sebenarnya KUHAP secara implisit telah mencoba memberikan perlindungan untuk menghindari perlakukan kasar, kekerasan dan penyiksaan, misalnya melalui Pasal 52 KUHAP menyatakan bahwa dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. Memori Penjelasan atas Pasal 52 KUHAP ini menyatakan agar supaya pemeriksaan dapat dicapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya, maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan-tekanan terhadap tersangka atau terdakwa. Sedangkan Pasal 117 KUHAP menyatakan bahwa keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun. Pasal 52 dan Pasal 117 ini ada baiknya dikaitkan dengan prinsip universal tentang non self incremintion dari tersangka/terdakwa (hak tersangka/terdakwa untuk tidak mempersalahkan dirinya sendiri), sebagaimana tercermin secara tidak langsung dan implisit sifatnya Pasal 66 KUHAP (tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian) dan Pasal 189 ayat (3) KUHAP (keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri).10

Sementara jaminan KUHAP terhadap hak-hak tersangka/terdakwa yang juga bermaksud melindungi tersangka/terdakwa dari perlakukan yang melanggar hak asasi manusia, keberadaannya tidak dijunjung tinggi bahkan diabaikan, antara lain hak untuk segera mendapat pemeriksaan penyidik (Pasal 50 ayat (1) KUHAP), hak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dapat dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya (Pasal 51 ayat (1) KUHAP), hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik (Pasal 52 KUHAP), hak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa (Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 177 ayat (1), hak atas bantuan hukum (Pasal 54 KUHAP), hak memilih sendiri hukumnya (Pasal 55 KUHAP), hak untuk mengunjungi dan dikunjungi dokter pribadinya (Pasal 58 KUHAP), hak untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang yang serumah mengenai penanahanan terhadap dirinya (Pasal 59 KUHAP), hak mendapatkan kunjungan keluarga (Pasal 60 KUHAP), hak untuk berkomunikasi setiap kali ia memerlukan (Pasal 61 KUHAP), hak untuk tidak disensor dalam hal ia berkirim atau menerima surat (Pasal 62 ayat (1) KUHAP), hak untuk tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan (Pasal 66 KUHAP) dan hak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 68 KUHAP) .11

Sementara di tingkat penuntutan, beberapa bentuk penyimpangan juga seringkali terjadi, misalnya melepaskan tahanan dengan tujuan mendapat imbalan, penggelapan barang bukti/barang rampasan, menyimpan barang bukti yang tidak sesuai tempatnya, menyalahgunakan barang bukti/barang rampasan, meminta uang, imbalan, atau hadiah dari keluarga terdakwa, menyalahgunakan wewenang untuk meminta uang/fasilitas kepada terdakwa, melakukan rekayasa dalam penanganan perkara, adanya KKN dalam penyidikan perkara, mempetieskan atau tidak menindaklanjuti perkara yang ditugaskan kepada yang bersangkutan.

Kewenangan yang juga rentan disalahgunakan oleh penyidik maupun penuntut adalah kewenangan diskresi12 untuk melakukan Upaya Paksa, misalnya kewenangan penangkapan, penahanan, penggeladahan penyitaan dan penghentian penyidikan. Pertimbangan untuk menggunakan kewenangan ini sangat subyektif tergantung pada kemauan pribadi penyidik maupun penuntut sehingga membuka peluang penyalahgunaan, penggunaan upaya paksa pada akhirnya sering tidak berdasar pada pertimbangan kepentingan mencari kebenaran materiil namun berdasar pada keuntungan yang bisa didapat oleh penyidik maupun penuntut, akhirnya dapat kita lihat ketidakadilan terjadi dalam penggunaan kewenangan diskresi untuk melakukan upaya paksa ini, mereka yang “berkantong tebal” dan memiliki akses ekonomi-politik berpeluang terbebas dari upaya paksa meski perbuatannya menimbulkan kerusakan luas, namun tidak bagi kaum yang tidak mampu baik secara ekonomi maupun politik selalu menjadi sasaran dari penggunaan upaya paksa oleh penyidik maupun penuntut meski perbuatannya tidak berdampak luas . Pada akhirnya hukum dilihat oleh masyarakat terutama mereka yang jauh dari akses ekonomi-politik bukan sebagai tempat mencari ‘keadilan” namun justru sarangnya “ketidakadilan” hukum dilihat oleh kaum miskin hanya berlaku bagi mereka namun tidak berlaku bagi kaum berpunya (the have), adagium yang sering digunakan untuk mengibaratkan hal ini misalnya “lapor kehilangan kambing, malah kehilangan sapi”. Pada akhirnya hal ini menyebabkan “krisis kepercayaan” terhadap hukum dan para penegaknya, bahkan hukum seolah kehilangan wibawanya, bila hal ini berlangsung lama dan masyarakat merasa mengalami kebuntuan dalam menemukan saluran untuk mendapatkan keadilan maka akan potensial memicu lahirnya “peradilan jalanan” (eigenrechting). Untuk mengatasi persoalan itu, pemberdayaan hukum bagi masyarakat miskin (Legal empowering for the poor) menjadi penting keberadaannya agar mereka memahami hak-hak hukum yang telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan sehingga dapat berdiri sejajar dengan aparat penegak hukum yang seringkali atas nama hukum justru melanggar hukum dan hak-hak masyarakat.

Persoalannya juga KUHAP tidak mengatur tentang akibat hukum bila penyidikan/ penuntutan dilakukan secara menyimpang, khususnya bila dilakukan dengan kekerasan (violence) dan penyiksaan (torture) yang sangat mempengaruhi secara phisik dan phisikis, apakah alat bukti yang diperoleh dengan cara demikian dianggap sah sebagai alat bukti di Pengadilan. Pada negara-negara anglo saxon, seperti halnya Amerika Serikat dan Inggris, suatu perolehan pembuktian secara sah berkaitan dengan Exclusionary Rules, yaitu suatu aturan yang berlaku umum berisikan larangan penggunaan alat bukti yang diperoleh penyidik secara tidak sah dan melanggar undang-undang 13. Di Amerika Serikat, validitas atau tidaknya suatu pembuktian yang diperoleh secara tidak sah itu dikembangkan oleh US Supreme Court (Mahkamah Agung Amerika Serikat) dalam bentuk Exclusionary Rules, agar warga negara terhindar dari tindakan-tindakan aparat penegak hukum yang sewenang-wenang.14 Begitu pula dengan Miranda Case (Miranda vs Arizona tahun 1966), sebagaimana diungkapkan oleh John Kloter dan Darl L Meier dalam bukunya Criminal Evidence For Police. Miranda didakwa melakukan tindak pidana di suatu tempat negara bagian Arizona, tetapi pada saat polisi melakukan penanangkapan ternyata tidak memberitahukan hak tersangka untuk diam (Have the right to remain silent) dan mendapat bantuan hukum (right to have a counsel), sehingga kelalaian pejabat polisi/penyidik itu membawa konsekuensi terhadap pembebasan terdakwa oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat yang dikenal dengan case law sistemnya. Oleh karena itu kasus Miranda ini merupakan “peringatan” bagi pejabat penegak hukum untuk menjalankan kewajibannya terhadap tersangka sesuai aturan undang-undang, bahkan para penegak hukum, khususnya penyidik, mempergunakan istilah tersebut sebagai Miranda Warning.15 Sedangkan di Inggris aturan seperti diatas dikeluarkan oleh Mahkamah Agung sebagai suatu Judge’s Rules. Di Indonesia KUHAP hanya memberikan sarana berupa “Pra Peradilan”, namun lingkup pemeriksaannya sangat terbatas, hanya terhadap keabasahan dari tindakan penyidik/penuntut dalam melakukan penangkapan, penahanan, maupun penghentian penyidikan dan penuntutan. Bahkan keabsahan dimaksud tidak terutama pada tindakan penyidik/penuntut yang melanggar HAM atau pemenuhan hak-hak tersangka/terdakwa namun hanya bersifat administratif belaka.

Lemahnya sistem pengawasan baik internal maupun eksternal dalam tubuh lembaga kepolisian maupun kejaksaan semakin menyuburkan penyalahgunaan kewenangan oleh polisi dan jaksa, berbagai bentuk pelanggaran oleh penyidik maupun penuntut hampir tidak pernah diberikan sanksi hukum yang tegas.


Catatan Kaki :
1. Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 25.
2. Kewenangan tersebut antara lain dikenal dengan tindakan Upaya Paksa dari penegak hukum, yang dalam hal ini melanggar HAM tersangka/terdakwa, dilakukan dengan kekerasan (violence) dan penyiksaan (torture). baca Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaam Kedudukan dalam Hukum, P.T. Alumni, Bandung, 2003, hlm. 6.
3. Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 29 dalam Mien Rukmini, Perlindungan HAM….., ibid.
4. Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, disampaikan untuk kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 18 Agustus 1997, hlm. 8 dalam Mien Rukmini, Perlindungan HAM…, ibid, hal. 3.
5. Erman Rajagukguk, Perlu Pembaharuan Hukum dan Profesi Hukum, Pidato Pengukuhan Sebgai Guru Besar Hukum, Suara Pembaharuan, hlm. 11 dalam Mien Rukmini, Perlindungan HAM……, ibid.
6. Sebelumnya HIR yang berlaku tidak memperhatikan hak-hak tersangka/terdakwa.
7. Mardjono Reksodiputro, In Commemoration Of Ten Years Of The KUHAP (1981-1991): An Optimistic Point Of View On The Indonesian Criminal Justice System And Its Administration, Joint Seminar Indonesia-Japan On Comptemporary Problem In The Field od The Criminal Justice And Its Administration, Jakarta, 20-24 January 1992.
8. Meski UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP tidak lagi menggunakan asas inkuisitor namun telah menggunakan asas akuisator (karena pengakuan terdakwa tidak lagi menjadi alat bukti yang sah), namun dalam prakteknya tersangka/terdakwa banyak mendapatkan ancaman baik mental maupun fisik agar mengakui perbuatannya.
9 Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM Dalam Perspektif KUHAP, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998, hlm. 4.
10. KHN-SETRA HAM UI, Akses ke Peradilan, Komisi Hukum Nasional, Jakarta, 2003, hlm. 23.
11. Moh. Najih mengemukakan syarat penggunaan diskresi, antara lain diskresi digunakan ketika peraturan yang ada tidak memadai, diskresi tidak boleh bertentangan dengan kewenangan, diskresi tidak boleh bertentangan dengan kode etik, dikemukakan dalam diskusi peneliti dengan nara sumber, di kantor komisi hukum nasional, Jakarta, 12 Januari 2007. Bandingkan M. Faal, S.H., M.H., Dipl. Es. dalam, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1991. ”Diskresi berasal dari kata-kata bahasa Inggris ”discretion” yang menurut kamus umum yang disusun John M. Echols, dkk., diartikan kebijaksanaan, keleluasaan. Menurut Alvina Treut Burrow, discretion adalah ”ability to choose wisly or to judge for oneself” artinya kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri. Sedangkan menurut kamus hukum yang disusun oleh J.C.T. Simongkir, dkk., diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. Dengan demikian menurut M.Faal, S.H., M.H., diskresi adalah suatu kebijaksanaan berdasarkan kekuasaannya (power) untuk melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan dan keyakinan dirinya.

13. K.G. Wijaya, Asas Praduga Tak Bersalah dan Perspektif Perkembangan Teori Hukum, Makalah pada Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Tanggal 17 Januari 1995 dalam Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM dalam Perspektif KUHAP, op. cit, hlm. 28.
14. Paul B Weston & Kenneth M. Wells, The Administration of Justice, New Jersey: Prentice Hall. 1973, page 50 dalam Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan……, ibid, hlm. 29.
15. K.G. Wijaya, dalam Indriyanto Seno Adji, Penyiksaan dan HAM……., op. cit, hlm. 29.
 
Copyright © 2011. Kantor Pengacara / Advokat di Kudus - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Lyrics | Songs.pk | Download Ringtones | HD Wallpapers For Mobile

Proudly powered by Blogger